Seseorang masuk ke rumah makan.
Ia duduk, memesan, lalu makan dengan nikmat. Tapi ketika pelayan memberikan
nota bayaran, ia menolak membayar. Tapi, menejer rumah makan itu mengikhlaskan
dengan berkata,”Oh, mungkin dia memang sedang tak punya uang,”
Lambat laun, ternyata ia semakin
sering makan tanpa mau membayar. Bahkan ia marah-marah saat diberikan nota
bayaran. Menejer rumah makan itu berkata dengan bijak,”Jika tak mau membayar,
baiknya makan di rumah saja,”
Bagaimana perasaannya, jika
ibu/bapak guru menjadi menejer rumah makan itu?
Begitulah, perasaan seorang
kepala sekolah ketika guru-guru sekolahnya tak memahami konsekuensi menjadi
seorang guru : tugas, hak, dan kewajiban.
Seorang guru bisa saja
berkata,”Tapi di sekolah lain juga santai, kok. Yang penting mengajar. Tidak
usah repot-repot memahami tugas, hak, dan kewajiban.”
Maka dapat dijawab seperti
menejer rumah makan itu,”Sebaiknya anda ‘makan’ di rumah saja,”
Maksudnya?
Jangan jadi guru, jika tak mau
dengan konsekuensinya.
Menjadi guru adalah menjadi
pembimbing, penuntun masyarakat. Predikat ‘GURU’, bukan merupakan suatu
PEKERJAAN, melainkan DERAJAT. Seorang guru bukan pekerja, buruh, atau tukang,
melainkan derajat tinggi di hadapan Tuhan. Mengapa? Karena pada tangan para
guru, generasi masa depan akan tercipta.
0 Comments