"Ada hari-hari ketika aku merasa sangat ketakutan untuk
berangkat ke sekolah itu," curhat si Jon malam itu. Wajahnya pucat, seakan
ini adalah fase tahunan, ketika ia benar-benar berada dalam puncak kebingungan.
"Aku tahu, kesalahan April lalu itu sangat fatal. Tapi apa yang harus aku
lakukan dengan saudaraku itu? Aku kira, aku telah begitu meniadakan diri. Aku merelakan diri untuk terkurung di sekolah itu meski sebenarnya aku mampu menjelajahi
nusantara ini. Aku membudak, mengorbankan kesenangan hidup yang sebenarnya aku
mampu meraihnya, tapi, hanya kesalahan kecil yang dilematis, Tuhan seakan tak
mau menyapaku lagi."
Entah dengan formula apa aku sebagai kawannya ini mampu
mendefinisikannya. Bekerja nyaris tanpa upah, melewatkan CPNS atau sertifikasi,
tak boleh jualan, tak boleh disambil kerja di tempat lain karena memang
pendapatannya kecil. Saat dia sudah nyaman dengan pekerjaan sambilannya,
kakak-kakaknya meminta berhenti tanpa jaminan penghidupan. Bagaimana dengan
dengan bayi dan istrinya yang sedang kuliah? Satire.
Kemarin ia menjelaskan perjalanan intelektualitasnya lagi. Tentang
keyakinan, tentang iman yang katanya adalah penglihatan. "Iman adalah
tentang penglihatan. Kita beriman, yakin, karena tak melihatnya langsung. Dan keimanan
tak dibutuhkan lagi untuk mereka yang telah terbuka penglihatannya. Sesuatu yang
gaib, bukan hal gaib untuk sebagian orang."
Orang-orang arab memiliki gambaran
tersendiri tentang surga dan neraka, seperti dongeng yang selalu dikisahkan
orangtua pada anaknya sejak kecil, turun temurun. Gambaran surga neraka ini
berbeda dengan manusia di wilayah lain, meski quran diterjemahkan. Seperti ketika
kita makan kurma, makan sate, atau menikmati apapun, surga bagi orang-orang
arab telah mengerti bagaimana gambaran di sana, rasanya, lalu ditingkatkan ke
level tertinggi. Tapi bagi sahabatku itu, surga, neraka, bahkan Tuhan sendiri
baginya tak penting lagi. Katanya, ia mulai kembali belajar untuk meniadakan
Tuhan.
"Karena yang selama ini kita sembah adalah diri kita
yang kita anggap sebagai Tuhan. Dia, tak akan mampu kita bayangkan, pikirkan,
analogikan, umpamakan, tak ada yang setara, seperti, sebanding dengan-Nya. Maka
dari ramadhan kemarin aku belajar untuk tak menyembah Tuhan yang aku kenal
sejak mulai aku mampu berpikir," kata si Jon.
"Lalu, bagaimana kau beribadah saat ini? Bukankah perjuanganmu
yang absurd itu adalah bukan karena dunia ini?" tanyaku.
"Aku sedang berjalan, belajar untuk mengikuti
rasulullah, apa yang beliau ajarkan, tanpa membawa-bawa Tuhan yang pernah aku
pahami,"
Apa maksudnya!!! Aku tak mengerti.
"Aku lebih memahami, bahwa apa yang terjadi saat ini
adalah apa yang aku usahakan kemarin. Usaha doa, usaha perkataan, usaha kerja,
usaha keyakinan, semua hal. Aku tak membawa-bawa Tuhan lagi dengan apa yang terjadi
dalam hidupku. Dia ada diwilayah iman, wilayah gaib, yang tak bisa pikiran
pahami, atau sertakan dalam setiap hal," sambungnya lagi. "Bahwa
kepemilikan adalah tentang nilai - bukan materi, tentang kualitas, tentang
karakter. Kesabaran, rasa syukur, keikhlasan, ini adalah tentang kepemilikan. Kini
aku bingung, mengapa Tuhan tetap menguji manusia jika kesabaran telah menyatu
dengan darah dagingnya? Untuk apa Tuhan memberi surga jika keikhlasan telah
menyatu dalam diri seseorang."
"Bahwa kekafiran itu bukan tentang non-muslim. Karena yang
dipanggil Tuhan dalam quran adalah yaa
ayyuhaladzina amaanu... bukan muslimu, mukminu. Maka yang kafir bukanlah si
kristen, si buddha, atau siapapun yang beragama berbeda denganmu. Tapi mereka
yang hatinya tak menggenggam la illaha
illallah sekalipun mereka islam,"
Bersambung........
0 Comments