Tidak ada jumlah ibadah yg akan menjadikan Tuhan lebih mencintaimu
daripada orang lain (Deepak Chopra). Manusia hanya akan mendapatkan rasa
sakit jika memaksakan diri, membenturkan kesalehannya dengan apa yg
menimpa pada dirinya. Ujian hidup, tak bisa tidak, menuntut akal semakin
tinggi mendaki pemahaman._Jon Q_
Di perkampungan yg sangat kental tradisi tasawufnya, terlepas lurus atau
menyimpang, banyak sekali orang-orang yg menggantungkan diri pada
dzikir atau wirid dalam jumlah tertentu. Dzikir ini dengan jumlah sekian
agar dagangan laris, dzikir itu dengan jumlah sekian agar enteng jodoh,
bikin rumah, atau bahkan mematikan hidup orang. Benar salah bukan fokus
tulisan ini. Memang banyak orang yg, entah iman kuat atau lemah,
bergantung pada hal-hal begitu. Berhasil atau gagal, itupun relatif. Yg
pasti kegagalan, bukan cuma untuk ahli wirid, semua orang merasa
tertekan. Kegagalan biasanya terlihat berwajah buruk.
Semua agama menyembah Tuhan yg Esa. Apapun agama itu. Tapi mengapa ada
yg menyembah patung, gambar, arca? Para pemuka agama mereka menganggap,
patung dkk. itu menjadi 'sarana fokus' menuju Tuhan yg Esa. Menjadi
wasilah, tawasul, jalan, untuk mencapai Tuhan, bagi mereka yg awam.
Mereka yg mampu fokus tanpa itu, berada pada tahapan keimanan yg kuat.
Dulu, pertama kali ungkapan 'berhentilah berharap bahkan pada Tuhan',
seorang sahabat mencoba menyangkal. Ia pernah hidup di pesantren,
pemikiran yg diungkapkan itu terasa menyesatkan.
"Berharap itu boleh, yg tidak boleh itu pamrih," katanya.
Dalam ungkapan itu tak termaksud larangan atau kebolehan berharap pada
Tuhan. Harap atau pamrih, itu manusiawi. Tapi ungkapan itu adalah
tahapan tertinggi. Dzikir atau ibadah apapun, mengapa harus diharapkan
kemudahan atau surga hanya untuk melakukannya? Kemudahan dari ibadah
atau dzikir atau kebaikan apapun adalah konsekuensi, akibat, imbalan.
Dan jika itu tak terasa mendapatkannya, mengapa harus merasa dibenci
atau tak dianggap oleh Tuhan? Tanpa keberharapan itu pendakian
tertinggi, bahwa tanpa imbalanpun seseorang akan tetap beribadah,
berbuat baik.
Jika dibenturkan ibadah dengan ujian hidup, maka Tuhan seakan kejam.
Nabi Ayub tersiksa penyakit parah puluhan tahun, dia nabi. Nabi Sulaiman
kaya, memiliki 'sulthon' (kekuasaan) yg membuatnya mampu mengendalikan
angin, jin, dan berbahasa binatang, ia beristri lebih dari 40, tapi tak
memiliki anak, dia nabi. Jika kemudahan dapat dibeli dengan dzikir dan
ibadah, di mana tes-nya? Di mana ujiannya? Di mana perjuangannya? Pemuka
agama akan berkata, dzikir dengan jumlah tertentu itu juga perjuangan.
Mungkin benar. Tapi bagaimana dengan mereka yg beribadah biasa saja tapi
dagangannya lancar, punya banyak anak, enteng jodoh? Pemuka agama
mungkin akan berkata lagi, itu ujian. Benar, itu ujian. Lalu untuk apa
beribadah dikhususkan, jika Tuhan nampaknya acak memberi kasih-Nya? Ia
rajin ibadah tapi belum beristri, miskin, terhina. Tapi yg lain
ibadahnya biasa saja dan hidup sejahtera : dengan istri, anak, dan
harta. Lalu mengapa ibadah itu harus terbesit keberharapan?
Bacaan selanjutnya
Pendakian Turunan yang lebih tinggi
0 Comments