Musa dididik dengan pemahaman tanpa kontradiksi. Khidir dididik dengan
dilema-dilema. Mereka yg hanya melawan musuh di depannya saja, akan
berbeda dengan mereka yg menghadapi musuh dari depan dan belakangnya.
Jenius itu melihat semesta dalam satu sudut pandang. Orang normal
melihat semesta dari satu sudut pandang. Jenius itu tidak normal._Jon Q_
"Kau boleh saja telah memiliki pemahaman moral dan iman tertinggi," kata
gurunya si Jon. Kami berkunjung malam itu. "Kau tak peduli surga, tak
takut neraka, tak hirau pahala atau dosa, bekerja keras tapi menutup
mata dari upah, tak peduli esok kau makan atau tidak, hidupkah atau akan
dimatikan, tapi tetap saja dunia akan menemukan sisi lemahmu. Sisi
lemah yg ketika kau diserang di sebelah itu, kau tak bisa apa-apa selain
tabah,"
Lagi-lagi dia dihadapkan pada dilema simalakama. Seperti analogi pelari
maraton tanpa juara. Ia lari kencang sepenuh hati. Tapi ketika ia sampai
finish, juri berteriak tak ada juara. Tapi ketika orang lain yg
mencapai finish, ia mendapat piala. Tapi untungnya itu bukan perlombaan
terakhir. Manusia senang dengan keputusasaan. Mudah menyerah sedang
perlombaan lain telah menunggu persis setelah finish pertama.
Harus apa? Seorang jenius melihat semesta dalam bola matanya. Seorang
biasa mempersempit semesta sebesar bola matanya.
Khidir menegakan bangunan yg hendak roboh. Musa bertanya, "Buat apa kau
menegakan bangunan yg hendak roboh itu?" dan melanjutkan. "Kau bisa
mendapatkan imbalan karena telah melakukan itu,"
Pertama tentang tujuan. Ada orang-orang tertentu yg hidupnya dituntun
Tuhan. Hendak ke barat atau timur ia tak punya keinginan. Orang dengan
keimanan dangkal akan menganggapnya tenggelam dalam kesombongan. Belagu.
Sok. Kurang ajar. Kedua tentang imbalan. Ada orang-orang tertentu yg
hidupnya dihajar habis-habisan oleh dunia. Seakan ia tak boleh senang,
tak boleh merayakan apapun. Seperti Khidir, ia melakukan apa yg bukan
keinginannya, dan tak harus ada imbalan untuk sebuah kebaikan. Imbalan
macam apa yg dinikmati oleh tangan? Khidir tangan Tuhan, ia tak berhak
mendapat imbalan karena yg mengunyah makanan itu bukan tangan, tapi
mulut (kepala).
"Jangan jatuhkan dirimu lagi," kata sang guru. "Kepasrahanmu telah
begitu tinggi. Kau takut apalagi? Kau merasa dekat dengan Tuhan, sedang
diuji rasa takut saja kau lupa, bahwa Tuhan-lah yg seharusnya kau ingat.
Bukan rasa takut yg sengaja Ia lemparkan padamu,"
Bacaan selanjutnya
Kaum la ya'lamun Qutiba alaykumul qital
0 Comments